Djajanan Tempo Doeloe

GATHOT DKK
  •  Selayang Pandang









    Selama ini kebanyakan orang mengenal Gunungkidul sebagai daerah yang gersang dan tandus. Namun, tidak banyak orang yang mengetahui bahwa di balik kegersangannya, kabupaten yang terletak di sebelah selatan Kota Yogyakarta ini kaya dengan wisata kulinernya. Salah satunya adalah gatot atau orang Jawa menyebutnya gathot. Makanan khas masyarakat Gunungkidul ini dapat dikatakan “saudara kembar” dari tiwul karena bahannya sama-sama dari gaplek (ketela pohon atau singkong yang dikupas kulitnya lalu dijemur untuk dikeringkan). Seperti halnya tiwul, gatot pada awalnya juga merupakan makanan pokok masyarakat Gunungkidul sebagai pengganti nasi. Hanya memang, tiwul lebih banyak dijadikan sebagai makanan pokok dibandingkan dengan gatot. Namun, tak jarang pula masyarakat memilih gatot sebagai makanan pokok sebagai pengganti nasi atau pun tiwul sendiri.

    Secara topografis, daerah ini memiliki kondisi tanah yang kurang subur, cenderung kering, dan berdaya dukung rendah untuk ditanami karena terdiri dari bebatuan yang mudah terdegradasi. Kondisi topografis inilah yang memaksa penduduk setempat bermata pencaharian sebagai petani lahan kering yang hanya bisa menanam singkong, jagung, dan kacang-kacangan. Singkong inilah yang diolah menjadi tiwul atau gatot sebagai makanan pokok.

    Dilihat dari sejarahnya, tiwul memang lebih dulu menjadi makanan pokok masyarakat Gunungkidul dibandingkan dengan gatot. Pada awalnya, gaplek hanya untuk dibuat tiwul. Gaplek yang baik untuk dibuat tiwul adalah gaplek yang berwarna putih. Namun, proses pembuatan geplek tidak selamanya akan menghasilkan warna putih, tetapi terkadang juga berwarna hitam karena proses pengeringannya kurang bagus akibat terkena air hujan. Daripada dibuang, warga Gunungkidul mencoba memasak atau mengukus gaplek yang berwarna hitam ini menjadi gatot. Belum ditemukan data yang menjelaskan tentang mengapa makanan ini dinamakan gatot.

    Cara mengolah singkong menjadi gatot cukup mudah. Pertama-tama, singkong yang sudah menjadi gaplek direndam dengan ari kapur sirih selama 12 jam (semalam). Setelah dicuci hingga bersih, gaplek di potong-potong kecil kemudian dikukus selama 2 jam. Setalah matang, gaplek yang sudah berubah menjadi gatot disimpan pada wadah yang lebar agar cepat dingin. Untuk membuat gatot yang berkualitas, gaplek yang digunakan adalah gaplek yang sudah dihujankan. Tujuannya adalah untuk mendapatkan warna hitam sebagai warna khas gatot.

    Seiring dengan perkembangan zaman, menurut sebuah sumber, sejak tahun 1966 pola konsumsi makanan pokok penduduk Gunungkidul dari tiwul atau gatot beralih ke nasi. Hal ini disebabkan oleh sebagian masyarakat yang melakukan urbanisasi mendapat pengaruh dari pola konsumsi masyarakat kota yang mengonsumsi nasi sebagai makanan pokok. Sejak itulah, masyarakat Gunungkidul mulai mengomsusi tiwul atau gatot sebagai makanan camilan. Gatot biasanya disantap bersama parutan kelapa setengah tua untuk menemani acara minum teh atau kopi. Jika Anda ingin mendapatkan rasa manis atau asin, cukup menambahkan gula pasir atau serutan gula merah pada parutan kelapa, lalu ditaburkan di atas gatot.

    B. Keistimewaan

    Perpaduan rasa gurih dengan sedikit rasa manis atau pun asin merupakan ciri khas dari gatot. Di samping itu, teksturnya yang kenyal ditambah dengan sedikit kasar parutan kelapa menambah eksotisme tersendiri saat Anda mengunyah makanan khas Gunungkidul ini. Seperti halnya tiwul yang berbahan dasar ketela pohon atau singkong, gatot dipercaya dapat mencegah penyakit mag. Selain itu, mengonsumsi gatot membuat rasa kenyang Anda dapat bertahan lebih lama atau dalam bahasa Jawa disebut dengan istilah awet wareg karena secara medis alat pencernaan butuh waktu lebih lama untuk mengolahnya.

    Jika dulu gatot dibuat untuk konsumsi pribadi dan untuk menjamu tamu yang datang berkunjung, kini bagi Anda pecinta kuliner tidak perlu khawatir karena makanan yang sering dicap sebagai makanan orang desa ini sudah diproduksi dan diperjualbelikan dengan bentuk instan. Anda cukup menyeduh gatot instan ini dengan air panas dan siap untuk disantap. Gatot dalam bentuk instan ini, selain cara penyajiannya cukup mudah, juga dapat bertahan lebih lama.

    C. Lokasi

    Gatot dapat Anda jumpai di pasar-pasar tradisional atau pun pusat oleh-oleh di daerah Gunungkidul. Salah satu kedai yang cukup terkenal menjual makanan khas Gunungkidul ini terdapat di Jl. Pramuka Wonosari. No. 36. Di kedai ini juga tersedia gatot dengan kemasan besek (kardus dari anyaman bambu). Satu besek cukup dimakan untuk 5 orang. Sementara itu, gatot yang dijajakan di pasar-pasar tradisional biasanya dibungkus dengan daun pisang.

    D. Harga

    Harga gatot cukup bervariasi, bergantung pada bentuk kemasannya. Gatot dalam bentuk kemasan besek dijual seharga Rp 5.000,00-Rp 15.000,00 sedangkan gatot instant yang dikemas ke dalam plastik dijual seharga Rp 5000.00/pak. Sementara itu, gatot yang dijual di pasar-pasar tradisional dijual sekitar Rp 1000,00-Rp 2.000,00/bungkus (Tahun 2011).

    Konsep Jajanan Malang Tempoe Doeloe

           I.            Jajanan yang akan disajikan terdiri dari:
    1.      Gathot,
    2.      Tiwul,
    3.      Horog-horog,
    4.      Gethuk,
    5.      Jagung bledhus, dan
    6.      Ketan bubuk,

        II.            Sejarah Jajanan
    Sebagai wujud kebudayaan, makanan bisa menjadi saksi sejarah kehidupan masyarakat. Jajanan Gatot, tiwul, horog-horog, gethuk, jagung bledhus, dan ketan bubuk contohnya. Jajanan-jajanan tersebut mempunyai nilai sejarah tersendiri.
    Secara garis besar, sejarah jajanan gathot maupun tiwul ini berasal dari Gunung kidul. Kebanyakan orang mengenal Gunung kidul sebagai daerah yang gersang dan tandus. Namun, tidak banyak orang yang mengetahui bahwa di balik kegersangannya, kabupaten yang terletak di sebelah selatan Kota Yogyakarta ini kaya dengan wisata kulinernya. Salah satunya adalah gatot atau orang Jawa menyebutnya gathot. Makanan khas masyarakat Gunung kidul ini dapat dikatakan “saudara kembar” dari tiwul karena bahannya sama-sama dari gaplek (ketela pohon atau singkong yang dikupas kulitnya lalu dijemur untuk dikeringkan). Seperti halnya tiwul, gatot pada awalnya juga merupakan makanan pokok masyarakat Gunung kidul sebagai pengganti nasi. Hanya memang, tiwul lebih banyak dijadikan sebagai makanan pokok dibandingkan dengan gatot. Namun, tak jarang pula masyarakat memilih gatot sebagai makanan pokok sebagai pengganti nasi atau pun tiwul sendiri.
    Secara topografis, daerah ini memiliki kondisi tanah yang kurang subur, cenderung kering, dan berdaya dukung rendah untuk ditanami karena terdiri dari bebatuan yang mudah terdegradasi. Kondisi topografis inilah yang memaksa penduduk setempat bermata pencaharian sebagai petani lahan kering yang hanya bisa menanam singkong, jagung, dan kacang-kacangan. Singkong inilah yang diolah menjadi tiwul atau gatot sebagai makanan pokok.
    Tiwul memang lebih dulu menjadi makanan pokok masyarakat Gunung kidul dibandingkan dengan gatot. Pada awalnya, gaplek hanya untuk dibuat tiwul. Gaplek yang baik untuk dibuat tiwul adalah gaplek yang berwarna putih. Namun, proses pembuatan geplek tidak selamanya akan menghasilkan warna putih, tetapi terkadang juga berwarna hitam karena proses pengeringannya kurang bagus akibat terkena air hujan. Daripada dibuang, warga Gunungkidul mencoba memasak atau mengukus gaplek yang berwarna hitam ini menjadi gatot. Belum ditemukan data yang menjelaskan tentang mengapa makanan ini dinamakan gatot.
    Sebenarnya cara mengolah singkong menjadi gatot cukup mudah. Pertama-tama, singkong yang sudah menjadi gaplek direndam dengan air kapur sirih selama 12 jam (semalam). Setelah dicuci hingga bersih, gaplek di potong-potong kecil kemudian dikukus selama 2 jam. Setalah matang, gaplek yang sudah berubah menjadi gatot disimpan pada wadah yang lebar agar cepat dingin. Untuk membuat gatot yang berkualitas, gaplek yang digunakan adalah gaplek yang sudah dihujankan. Tujuannya adalah untuk mendapatkan warna hitam sebagai warna khas gatot.
    Seiring dengan perkembangan zaman, menurut sebuah sumber, sejak tahun 1966 pola konsumsi makanan pokok penduduk Gunung  kidul dari tiwul atau gatot beralih ke nasi. Hal ini disebabkan oleh sebagian masyarakat yang melakukan urbanisasi mendapat pengaruh dari pola konsumsi masyarakat kota yang mengonsumsi nasi sebagai makanan pokok. Sejak itulah, masyarakat Gunung kidul mulai mengkonsumsi tiwul atau gatot sebagai makanan camilan. Gatot biasanya disantap bersama parutan kelapa setengah tua untuk menemani acara minum teh atau kopi. Jika Anda ingin mendapatkan rasa manis atau asin, cukup menambahkan gula pasir atau serutan gula merah pada parutan kelapa, lalu ditaburkan di atas gatot.
     III.            Kandungan Gizi Jajanan
    Gatot adalah makanan yang berasal dari gaplek, yaitu ketela yang sudah dikeringkan. Gaplek ini di iris dan  kemudian dijemur sampai kering, setelah itu  disimpan sampai timbul Noda hitam pada gaplek umumnya karena jamur E coli setelah itu dicuci lalu dikukus seperti menanak nasi.
    Kandungan Gizi Jajanan adalah Karbohidrat.  Karbohidrat merupakan senyawa yang terdiri dari elemen-elemen karbon, hidrogen dan oksigen dan terbagi menjadi gula/karbohidrat sederhana dan karbohidrat kompleks. Karbohidrat sederhana merupakan sumber energi yang paling ekonomis dan paling banyak tersedia. Karbohidrat sangat bermanfaat karena merupakan penghasil energi yang cepat dan menghasilkan serat agar proses eliminasi pencernaan dan fungsi-fungsi intestinal berfungsi normal.
    Karbohidrat adalah sumber energi tubuh dan dapat anda temukan dalam 2 bentuk : tepung dan gula. Tepung ditemukan di makanan seperti beras, pasta, roti, kentang, kacang-kacangan, dan padi-padian. Gula dapat ditemukan di makanan seperti coklat, permen atau kue. Karbohidrat untuk makanan sehat seharusnya lebih mengandung tepung dibandingkan mengandung gula.
    Jika seseorang tidak mengkonsumsi karbohidrat yang sesuai dengan kebutuhannya akan menimbulkan efek-efek merugikan. Kekurangan asupan karbohidrat dapat menimbulkan kehilangan energi, mudah lelah, terjadi pemecahan protein yang berlebihan, dan akan mengalami gangguan keseimbangan air, natrium, kalium dan korida. Sebaliknya, jika seseorang kelebihan mengkonsumsi karbohidrat akan meyebabkan berat badan meningkat dan terjadi obesitas.
    Perpaduan rasa gurih dengan sedikit rasa manis atau pun asin merupakan ciri khas dari gatot. Di samping itu, teksturnya yang kenyal ditambah dengan sedikit kasar parutan kelapa menambah eksotisme tersendiri saat Anda mengunyah makanan khas Gunungkidul ini. Seperti halnya tiwul yang berbahan dasar ketela pohon atau singkong, gatot dipercaya dapat mencegah penyakit mag. Selain itu, mengonsumsi gatot membuat rasa kenyang Anda dapat bertahan lebih lama atau dalam bahasa Jawa disebut dengan istilah awet wareg karena secara medis alat pencernaan butuh waktu lebih lama untuk mengolahnya.
     IV.            Penyajian Jajanan
    Gatot dapat  dijumpai di pasar-pasar tradisional, seperti halnya Malang Tempoe Doloe (MTD) yang diadakan setahun sekali, kemudian di stand pasar minggu di Jalan Semeru Malang dan di pasar lainnya. Sementara itu, gatot yang dijajakan di pasar-pasar tradisional biasanya dibungkus dengan daun pisang atau disajikan dengan daun pisang.
        V.            Harga
    Harga gatot Rp 3.000,00/bungkus (Tahun 2011).